NAPAK TILAS 76 TAHUN INDONESIA. PERLU PENANAMAN KARAKTER DENGAN KEARIFAN LOKAL

BBS-NEWS. ID - BANJARMASIN  -  Napak tilas usia 76 tahun Kemerdekaan RI, dilihat dari segi psikologi, menurut Dosen Uniska Banjarmasin Dr. H. Jarkawi, MM.Pd., usia sudah matang usia dewasa. Namun menurut mantan Wakil Rektor Satu Uniska ini, melihat kenyataan generasi muda yang masih banyak terkena narkoba, bullying dan terlebih dengan masa pandemi covid 19, berita-berita yang tidak disortir, banyaknya berita bohong (hoax) tidak disortir, langsung dishare, sehingga banyak berita hoax (bohong).

"Sehingga sepertinya program-program Pemerintah untuk melakukan sosialisasi bersifat edukasi, jadi bentrokan kelihatannya. Jadi ada satu krisis identitaslah. Dalam artian siapa aku? Aku Indonesia itu seperti apa? Ini yang perlu mendapat perhatian kita, khususnya dalam dunia pendidikan, yaitu bagaimana kita menanamkan karakter dengan berbasis kearifan lokal," kata Jarkawi.

Banjarmasin dengan kultur religiusnya, menurut Jarkawi, perlu keterlibatan ulama, kyai, ustadz, bagaimana sama-sama meredam dalam artian memberikan satu pencerahan dan pembentukan karakter berkeyakinan agama yang benar. Dalam artian bahwa agama mengajarkan yang bertoleransi selama tidak melanggar akidah.

"Agama apa saja di Indonesia ini, Hindu, Budha, Kristen, semua itu tentang kemanusiaan yang sifatnya toleransi, lebih- lebih Islam, sangat tinggi toleransinya," Jarkawi menambahkan.

Namun tegas Jarkawi, bukan berarti dengan toleransi mengorbankan akidah, yang diperlukan edukasi secara keagamaan.

Sedangkan dari sisi edukasi kependidikan, ungkap Jarkawi, ada satu hal yang perlu kita berpikir kritis tentang dunia pendidikan saat ini.

"Saya berharap, ada satu pemikiran kritis untuk mengatasi semua ini. Bukab berarti kita pasrah dengan keadaan. Tapi kita harus ke luar dari situasi pendemi yang menimbulkan ketegangan-ketegangan, Bosan, stress. Akhirnya main hp yang diberitakan berita hoax. Sepertinya tidak ada kesadaran untuk memberikan edukasi. Baik interaksi secara online ataupun secara interaksi dalam tatap mukanya. Biasanya yang dibicarakan masalah hal-hal bagaimana Indonesia yang lebih bagus.

Menyinggung tema Indonesia tumbuh dan berkembang. Menurut Jarkawi, Indonesia sudah tumbuh. Tapi cuma perkembangannya terhambat.

“Kalau kita lihat siklus, begitu Indonesia ingin maju, pasti dapat serangan. Contoh, kita ingin maju, kita ambil zaman orde baru, dimana disitu kita sudah take off (kata Pak Harto, waktu itu),  artinya secara mapan, ekonomi kita kuat. Tapi begitu kita sudah menyatakan itu, dapat serangan krisis ekonomi. Sekarang Indonesia sudah modern, mengarah ke modern, mencanangkan akan berpengaruh di Asia, terus dapat serangan covid. Ini satu pelajaran siklus ini,” Jarkawi mengingatkan.

Menurtunya, saat Indonesia menyatakan kemajuan, kita harus siap-siap diserang orang. Apakah secara sunatullah ataupun secara politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Itu perlu diantisipasi. Sehingga katanya, mari berfikir bersama secara kritis untuk memberikan edukasi kepada masyarakat.  Bagi dunia pendidikan, kepada guru, siswa, Dosen dan seluruh yang terlibat secara taktis dalam dunia pendidikan hendaknya berfikir melakukan improvisasi bagaimana pedagogic yang bisa membawa kepada berfikir kritis dan partisipatif terhadap lingkungan. Menurut Jarkawi, seperti kalau covid ini partisipatifnya kurang. Justru antisipatif. Dalam artian. Artinya, Pemerintah mengeluarkan vaksin. Supaya rakyatnya selamat. Maksudnya bagus. Maka wajib vaksin. Diserang. Matilah. Vaksinnya ini dan lainnya. Jadi program ini sepertinya perlu disadarilah oleh masyarakat untuk melakukan edukasi secara ibda binafsih.

“Program itu melakukan penelitian sudah. Penganalisaan. Tapi jangan lagi discounter dengan hal-hal sepertinya benar. Bahkan ada orang medis sendiri yang bicara seperti apa. Padahal secara medis ini sudah jelas. Yang dulu tidak percaya. Sekarang buktinya. Ternyata kan. Obatnya belum ditemukan. Cuma cara penyebaran terbatas adalah dengan PPKM. Membatasi perkumpulan. Pemerintah tidak melarang berjualan, tapi dibatasi waktunya. Ada perkumpulan, silakan, tapi dibatasi waktunya. Sudah longgar ini. Kesadaran mendidik diri sendiri, perlu bagi masyarakat dan didorong juga Pemerintah tetap, jangan kendor untuk memberikan kecerdasan-kecerdasan melalui sosialisasi edukasi ini,” tegas Jarkawi.

Menyinggung Dunia Pendidikan, menurut Jarkawi, bukan pendidikan kita berkurang, tapi kecepatan kita mengantisipasi perubahan, itu yang terbata-bata, karena perubahan teknologi informasi cepat. Kita sudah mulai mengantisipasi dengan banyak sudah melakukan antisipasi seperti seminar, lokakarya dan workshop untuk mengantisipasi 4.0.

“Sudah diantisipasi. Sudah siap ini semua. Contohnya dalam ekonomi ada Google Drive. Go Food. Transaksi Online. Sudah itu. Sudah siap dibidang ekonomi. Dalam artian tenaga. Tetapi begitu ada covid. Masuk di dunia pendidikan, terkejut-kejut. Yang harusnya tatap muka, harus daring. Dan daring ini interaksi sosialnya lemah. Antara guru dengan guru. Siswa dengan siswa. Beda dengan tatap muka,” ungkap Jarkawi.

Jarkawi mengajak, agar semuanya berfikir. Karena kalau krisis generasi muda, tidak semuanya karena faktor pendidikan. Karena pendidikan kita itu sudah bagus. Ada sistim nasional. Dulunya tidak ada. Sekarang sudah ada. Kemudian beberapa program Mendikbud Nadim Makarem, seperti Kampus Merdeka. Guru Penggerak. Itu sudah memacu dan mendorong.

“Tetapi kemajuan teknologi informasi juga makin cepat. Jadi kita tidak bisa berjalan kaki lagi. Kita bukan lagi berlari. Tapi melompat. Jadi bagaimana proses pendidikan kita ini kita rekayasa. Kita ciptakan suatu kondisi yang cepat untuk mengantisipasi itu. Jadi bukan berarti pendidikan kita gagal. Tidak. Tapi kalah cepat dengan kemajuan teknologi.

Sehingga, kata Jarkawi, kemajuan teknologi memunculkan gaya hidup konsumerisme. Gaya hidup bergaya baru. Memakai gaya narkoba. Tidak modern. Dampak dari kemajuan global. Karena masyarakat imitasi tanpa saringan. Sehingga memunculkan hal itu. Bukan lemah pendidikan kita. Tapi karena kemajuan teknologi yang menimbulkan globalisasi. Tidak terbatas lagi. Masyarakat bisa melihat kehidupan di Amerika, Jepang maupun Korea. Langsung mengimitasi. Manusia sifatnya suka mengimitasi dan ingin menunjukkan identitas diri.

"Menjadilah gaya hidup baru. Yang kadang-kadang haya bersifat pencitraan. Gaya hidup orang modern.Di sinilah perlu pendidikan untuk bagaimana menanamkan jiwa-jiwa patriotism untuk mencintai tanah air. Bertanggung jawab. Disiplin. Itu yang perlu,” Jarkawi menasehati.

Untuk pengajaran PMP yang sudah hilang, menurut Jarkawi, PPKN masih ada. Itu yang diperkuat. Bagaimana pembentukan karakter sebagai Generasi Muda untuk mencintai Ini Indonesia. Kita ini beda. Secara geografis kita terdiri dari pulau-pulau. Terdiri dari suku-suku, beda dengan Amerika yang satu tanah.

“Beda dengan orang satu tanah satu budaya. Kalau kita ini pulaunya ribuan. Budanyanya sangat plural.       Sehingga ini perlu suatu kearifan. Memang harus ada keseragaman. Tetapi ada kearifan local yang perlu kita angkat. Budaya-budaya. Ini yang perlu. Seperti Banjarmasin yang relegius. Penanaman karakternya melalui pendekatan-pendekatan ulama, pendekatan keagaman dan seterusnya,” pungkasnya.(AN/Juns)