JPKP Kalsel Soroti Harga Minyak Dunia Dan Minyak Goreng

JPKP Kalimantan Selatan Winardi Sethiono (foto.ist) 

Bbs-news.id, Banjarmasin  -  Untuk minyak, menurut Ketua Jaringan Pendamping Kebijakan  Pembangunan ( JPKP) Kalimantan Selatan Winardi Sethiono, ibarat menghadapi Buah Simalakama. Karena menurutnya, kita hanya menggunakan logika, dengan melihat satu sisi Masyarakat Indonesia menginginkan Sebuah Kebebasan yang boleh dikatakan Tinggal Landas. Itu yang diinginkan Masyarakat. Namun disisi lain, dirasakan Winardi, Pemerintah juga memikirkan, kalau disubsidi terus, Indonesia akan bangkrut.

"Lalu dengan adanya hal-hal demikian, kemudian Pemerintah mengambil langkah untuk mengikuti harga minyak dunia. Itu saya rasa sah-sah saja. Disesuaikan dengan kondisi daripada Masyarakat kita. Jadi kita melihat hal ini jangan hanya melihat di tempat kita saja. Akan lebih bijaksana kalau kita melihat di Negara-negara Tetangga kita. Nah, kita melihat harga minyak di sana itu berapa perkiternya? Jadi yang saya tahu itu, kisaran harganya Rp 30.000 hingga Rp 40.000 perliter. Itu sudah di Negara Tetangga," ungkap Winardi.

Sehingga menurutnya, kalau di Negara kita dibawah angka Rp 20.000 perliternya dirasakannya bahwa Pemerintah sudah menekan setengah mati dan sudah mengupayakan sedemikian rupa. Yang dalam istilah Urang Banjar "Kuduk Kada Mati, Ular Kada Kanyang". Itu menurut asumsinya yang dilakukan oleh Pemerintah. Sama juga dengan minyak goreng dan lain-lain sebagainya.

"Karena keinginan dari Masyarakat yang ingin Tinggal Landas, kemudian Pemerintahpun juga mengakomodir itu dengan menyiapkan perangkat untuk mengikuti harga-harga minyak dunia. Kalau asumsi saya disana," Winardi menambahkan.

Untuk para Pengusaha yang sudah mendapatkan fasilitas kemudahan dalam mengembangkan usahanya, ternyata sulit menjual minyak goreng dengan harga wajar, menurut Winardi, kalau halnya demikian, pabrik-pabrik pengolah minyak goreng, terutama yang terakhir ini banyak dibangun, harus menjadi pertimbangan bagi Pemerintah . Kalau misalnya mereka (Pengusaha) ingin mendapatkan fasilitas lahan dan kemudahan lainnya, bagaimanapun juga, mereka harus dibuat MoU (Memorandum of Understanding) atau Nota Kesepahaman. Karena tanpa adanya kesepakatan, itu juga susah bagi Pemerintah untuk melaksanakan itu.

"Kalau misalnya mereka (Pengusaha) tidak dapat mengikuti harga yang diminta Pemerintah dalam pengadaan minyak goreng, saya rasa itu sudah saatnya Pemerintah juga melakukan MoU kepada perusahaan itu tadi, untuk kesejahteraan Masyarakat. Jadi biar imbang," tegas Winardi.

Sehingga kalau sudah ada MoU, jika Pengusaha tidak patuh, mereka diberikan sanksi (hukuman), yang menurut Winardi, paling tidak sanksi pencabutan izin, bahkan sampai kepenutupan. Tapi kita harus memegang MoU dulu.(Andra/juns)