Tuntaskan Pro Kontra Regulasi di Industri Sawit, Penyusunan Neraca Komoditas Perlu Dikebut

Jakarta, Bbs-news.id - Ekonom Universitas Airlangga, Rossanto Dwi Handoyo menyarankan, pemerintah perlu mewujudkan penyusunan platform Neraca Komoditas (NK).

Pasalnya, mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi produk komoditas unggulan seperti batubara dan Crude Palm Oil (CPO).  

NK bisa menjadi acuan data dan informasi yang mampu menjabarkan tentang situasi konsumsi dan produksi suatu komoditas berskala nasional seperti CPO dan batubara sekaligus sebagai  data dan informasi proyeksi pengembangan industri nasional.

Hal itu disampaikan Rossanto dan Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam diskusi virtual bertema “Ancaman Resesi, Peningkatan Eskpor Non Migas dan Dampak Penerapan kebijakan Ekspor CPO,” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Sawit (FJS) di Jakarta, Senin 3 Oktober 2022.

Menurut Rossanto, melalui NK tersebut nantinya dengan mudah diketahui seberapa besar kebutuhan CPO dalam negeri untuk minyak goreng hingga target ekspor sehingga  berbagai regulasi pro dan kontra seperti DMO dan DPO bisa dihindari.

 “Kebijakan sebagai upaya transparansi ini bermanfaat karena  memberikan kepastian waktu bagi waktu bagi eksportir sawit, mendorong penyederhanaan tata niaga kelapa sawit di Indonesia yang kini masih terkesan tumpang tindih,” kata  Rossanto.

Menurut Rossanto, penyusunan NK perlu dikebut mengingat  perekonomian Indonesia masih menghadapi dampak tekanan ekonomi global tahun depan 2023. 

Pada tahun 2023, ekonomi domestik dihadapkan dengan sejumlah ketidakpastian seperti potensi resesi dunia setelah tingginya inflasi dan tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara-negara maju. 

Beberapa faktor mempengaruhinya ketidakpastian itu adalah, akibat pertumbuhan ekonomi China mengalami penurunan serta  pertumbuhan ekonomi dunia yang diduga juga stagnan.

 “Dampak Pandemi Covid-19 juga masih akan dirasakan Indonesia meski status Indonesia yang telah turun menjadi lower middle income country,” kata dia

Namun demikian, Rossanto memperkirakan, perekonomian sejumlah negara di Asia Pasifik bakal tumbuh positif dengan inflasi yang masih terkendali.

CPO dan Batubara masih menjadi komoditas yang mampu menggerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ketika harga komoditas terdampak,  surplus perdagangan hingga lapangan kerja yang meningkat karena serapan disektor pertambangan dan perkebunan, bisa kembali menurun.

Rossanto juga menyarankan, agar  Indonesia bisa kembali ke posisinya semula perlu melakukan diversifikasi pasar ke Uni Eropa.

Saat ini, China, Pakistan dan India merupakan psar terbesar CPO Indonesia. Namun akibat banyaknya kebijakan yang tumpang tindih membuat harga CPO dan target pengiriman sulit diterapkan.

Karena itu, Pemerintah Indonesia perlu berjuang habis-habisan di WTO agar CPO bisa masuk ke Eropa.

Pasar Eropa, meski tidak besar, namun menjadi indikator perdagangan dunia.

Upaya lain yang perlu dilakukan adalah mendorong peningkatan daya saing komoditas CPO melalui sertifikasi internasional. 

Per 31 Desember 2020, 735 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia telah memiliki sertifikasi yang Bernama Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Sementara itu, Tauhid Ahmad menyoroti pemerintah perlu memberlakukan regulasi pro komoditas ditengah ketidakpastian global yang tinggi, terutama dengan melonjaknya harga komoditas pangan dan energi menjadi tantangan bagi perekonomian nasional.

“Sebenarnya, Indonesia bisa selamat dari resesi karena diuntungkan dari kenaikan harga komoditas global sehingga menambah pendapatan negara,” kata Tauhid Ahmad.

Tauhid Ahmad masih menyakini bahwa CPO atau minyak sawit masih menjadi komoditas yang menyumbangkan pundi-pundi besar terhadap devisa negara. 

Mengutip ata Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor minyak sawit mentah (CPO) berkontribusi sebesar Rp112,82 triliun bagi perekonomian Indonesia sepanjang kuartal I/2022. Angka ini setara 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ironisnya, saat ini masih ada beberapa kebijakan yang justru membatasi kegiatan ekspor minyak sawit. “Sebut saja Bea Keluar, Pungutan Ekspor, Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), Persetujuan Ekspor, dan Flush Out,” ungkap Tauhid Ahmad.

Karena itu, seluruh hambatan ekspor tersebut sebaiknya dikurangi atau bahkan dihapus.

Sementara itu, di dalam negeri hal yang bisa dilakukan dengan melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan penetapan harga TBS sawit.

Agar penetapan harga TBS sepihak tidak terjadi, diperlukan pengawasan ketat oleh gubernur di wilayahnya, sebagai pihak yang menetapkan TBS, untuk mencegah konflik antara petani dan pabrik sawit. 

Perlunya pelindungan petani yang tidak bermitra dengan perusahaan dalam memperoleh harga TBS sawit. Apalagi, jumlah petani bermitra dengan perusahaan sebanyak 7%, sedangkan 93% lainnya merupakan petani sawit swadaya.(Rsnt/An)