Mentan dan Men-LHK Layak Dievaluasi dan Bahkan Diganti

Pekanbaru,bbs-news.id  - Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Sawitku Masa Depanku (SAMADE) bahwa Menteri Pertanian dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK) sudah sangat layak dievaluasi. Sebab dua lembaga ini tidak bisa menerjemahkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menjadi program prioritas Presiden Jokowi. Yang ada justru terkesan menghalangi.

Gara-gara keduanya tidak bisa menerjemahkan program prioritas itu, petani kelapa sawit menjadi sangat dirugikan. “Sebelumnya Kementerian Pertanian telah mengeluarkan data bahwa potensi Peremajaan Sawit Rakyat mencapai 2,78 juta hektar. Dari 2020, sudah juga dibuat kesepahaman percepatan PSR dengan target 180 ribu hektar per tahun. Tapi dari 2016 sampai November 2022 lalu, kebun sawit rakyat yang baru berhasil diremajakan, masih hanya 257.862 hektar. Lahan ini milik 112.925 pekebun,” ungkap Wakil Ketua Umum DPP SAMADE, Abdul Aziz, Senin (26/12).

Rendahnya capaian PSR ini tidak lepas dari klaim kawasan hutan yang dilakukan oleh KLHK terhadap kebun-kebun kelapa sawit rakyat yang sesungguhnya sudah mereka kelola lebih dari 25 tahun. Rumitnya persyaratan PSR yang dibuat oleh Kementan, menambah daftar panjang persoalan yang dihadapi petani. 

“Peremajaan itu bukan membuka lahan baru kemudian ditanam. Tapi justru menebangi pohon sawit yang sudah lalu ditanami lagi. Nah, kebetulan untuk program PSR ini, ada bantuan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). sebelumnya besaran bantuan itu Rp25 juta per hektar. Tapi sejak pertengahan tahun 2020 menjadi Rp30 juta per hektar. Dana hibah ini bukan dari APBN, tapi dari hasil Pengutan Ekspor (PE) yang kemudian dikelola oleh BPDPKS,” cerita Aziz.

Untuk mendapatkan dana hibah itu kata Aziz, petani membuat usulan melalui dinas perkebunan yang ada di kabupaten/kota, provinsi hingga Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjen Bun). Salah satu syarat lolos usulan itu adalah kebun petani tidak berada di dalam kawasan hutan. 

“Di saat pengajuan inilah kemudian ketahuan kalau ternyata lahan kebun petani berada di dalam kawasan hutan. Ini kan aneh, lahan yang sudah dikuasai lebih dari 25 tahun, tiba-tiba diklaim berada di kawasan hutan. Yang paling aneh lagi, lahan petani yang sudah punya sertifikat tanah, juga diklaim dalam kawasan hutan,” ujar Aziz.

Jika sudah seperti ini, dipastikan petani gagal mendapatkan dana hibah itu dan tak akan ada penjelasan dari Kementan kenapa lahan yang diusulkan oleh petani untuk ikut PSR berada di dalam kawasan hutan.  

KLHK juga kata Aziz tidak akan memberikan penjelasan kenapa lahan petani itu berada di dalam kawasan hutan. “Kapan kawasan hutan itu ditunjuk dan kapan ditetapkan, itu enggak akan ada penjelasan. Saya sering meminta bukti pengukuhan kawasan hutan itu, tapi tidak pernah mendapat jawaban. Bukti pengukuhan kawasan hutan itu kan ada yang namanya Berita Acara Tata Batas (BATB) yang dilengkapi dengan traking tata batas dan peta polygon. Ini harus ada sesuai dengan apa yang tertera di pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Bahwa kawasan hutan yang ditunjuk harus segera ditatabatas untuk kemudian ditetapkan. Dalam proses penataan batas itu, setiap lahan yang sudah dikuasai oleh rakyat harus dikeluarkan dari areal yang ditunjuk tadi. Tapi itu tidak dilakukan oleh kehutanan. Itulah makanya lahan petani tadi terperangkap di dalam klaim kawasan hutan itu,” katanya. 

Tahun 2020 lalu, pemerintah sudah mengeluarkan UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di cluster kehutanan disebutkan bahwa lahan yang sudah dikuasai oleh petani minimal lima tahun dan tidak lebih dari lima hektar, dikeluarkan dari kawasan hutan. 

“Aturan itu berlaku untuk kawasan hutan yang sudah dikukuhkan. Artinya, di dalam kawasan hutan yang sudah dikukuhkan sekali pun, aturan itu memerintahkan agar lahan petani dikeluarkan. Tapi itu juga tidak dilakukan. Yang ada justru, KLHK selalu ngotot bahwa lahan yang sudah dia klaim sebagai kawasan hutan, itulah kawasan hutan. Tidak boleh diganggu gugat,” Aziz mengurai.

Klaim-klaim semacam ini kata Aziz sama saja dengan perampasan hak-hak rakyat. Padahal dalam undang-undang juga disebutkan bahwa apabila kawasan hutan sudah dikukuhkan tapi di dalamnya masih ada hak-hak rakyat, harus diselesaikan. 

“Tapi itu juga tidak dilakukan. Berantakannya sistem pertanahan di negara ini, penyebabnya hanya satu. Bahwa dalam proses penunjukan kawasan hutan, otoritas kehutanan tidak pernah menjalankan aturan secara kongkrit. Termasuk juga pada lahan yang diserahkan kepada korporasi dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) ataupun konsesi perhutanan. Otoritas kehutanan hanya menunjuk hamparan lahan, tanpa pernah melibatkan para pihak untuk sama-sama melakukan tata batas. Kita beli tanah sehektar saja harus mengajak sempadan untuk penataan batas. Apalagi pada luasan lahan yang besar yang berbatasan dengan banyak pihak. Kalau aturan yang ada dijalankan kongkrit, tak akan pernah ada konflik lahan di negeri ini,” Aziz memastikan. 

Lantas apa kaitannya dengan Kementan? Semestinya Kementan mempertanyakan apa dasar  KLHK mengatakan lahan petani itu berada di dalam kawasan hutan. Lalu jawaban KLHK itu kemudian disampaikan kepada petani. 

“Dan mestinya, Kementan menyodorkan UUCK tadi sebagai solusi baru agar petani bisa meremajakan kebunnya. Tapi itu tidak dilakukan. Padahal itu teramat mudah dilakukan disaat Mentan maupun Men-LHK berasal dari ‘rumah’ yang sama,” katanya.

Aziz menyebut, tidak ujug-ujug Presiden Jokowi membuat PSR itu menjadi program prioritas, tapi pasti sudah melalui pemikiran yang matang. Bisa jadi karena dari 16,38 juta hektar kebun kelapa sawit di Indonesia, 42 persen adalah milik rakyat. 

“Berikutnya, kelapa sawit telah menjadi sumber kehidupan sekitar 17 juta keluarga di Indonesia. Sangat berdampak kepada geliat ekonomi di perdesaaan hingga ke kota. Tapi ini sepertinya tidak menjadi pertimbangan dua menteri ini. Kalau kita bicara hutan, data Bappenas tahun lalu menyebut masih ada 86 juta hektar tutupan hutan Indonesia dari sekitar 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Luasan itu masih melebihi dari 30% tutupan hutan minimal,” Aziz menghitung. 

Terlepas dari adanya petinggi partai dua menteri tadi yang mengatakan bahwa Mentan dan Men-LHK punya segudang prestasi kata Aziz, silahkan saja. “Saya hanya bicara petani kelapa sawit yang notabene telah menjadi isu strategis di negeri ini. Kalau isu strategis dan program prioritas presiden ini saja tidak bisa diselesaikan, tentu keduanya layak dievaluasi dan bahkan diganti,” katanya.(Santa/andra)